Bedtimemovies @slideshare

15 January 2011


Check out this SlideShare Presentation:
Bedtimemovies - on Seminar PIO UNAIR
View more presentations from Alief Maulani.

0 comments

9:40 PM

Fave Musics Today

16 February 2009


Frenz.
Liburan ni q ndengerin musik2 kueren.. kayak lagu I Wanna Hav Ur Babies-nya Natasha Bedingfield.. lagunya luchu, seger, nakal.. pokok-e cute..

Trus da lagi 7Things-Miley Cyrus/Hannah montana.. single terbarunya, denger sambil baca teksnya deh, pasti bakal ngrasa 17 lagi, hehehe.. 

Kalo mo download, langsung aja klik judulnya.. Langsung NDOWNLOAD!




p.s.:Hancurkan selera musikmu.. cukup dengan ngikutin selera musikku.. wakakakakakakak...

1 comments

10:58 PM

Second First-Step

07 December 2008



 

Lorong ini mengawalinya,

Kataku padanya.

Tepat di tempat itu Aprodhite menyerah dari bujukan Hazel. Terkesan dari jawabannya yang cenderung mengambang,

“Kita coba dulu, ya?”

“Sampai kapan?”

“Waktu yang bakalan njawab.”

Hazel hanya meng-iyakan statement Dhite’ dengan dahinya yang mengerenyit seraya mengangkat bahunya.

Mereka berjalan hampir beriringan, sampai saat Hazel menarik tangan Dhite’yang berjalan selangkah di depannya. Mereka terhenti. Genggaman tangan Hazel membawa Aprodhite ke tembok terdekat. Pelan, jarak mereka semakin mendekat. Insting defence Si gadis berfungsi. Hatinya merasa sesuatu yang berbeda terjadi. Hazel terus mendekat, terus, hingga tangan yang lainnya menggenggam pasangannya dan memojokkannya ke tembok. Aprodhite semakin yakin akan instingnya. Ia membela dirinya,

“Hez,” “Hezo,”  “Hazel!”

Ia merasa terpojok, pembelaan dirinya meluap.

Cuh!

Ludah meluncur langsung ke muka Hazel. Sedetik setelahnya tamparan melengkapkannya. Belum cukup dengan itu, Gadis 18 tahun itu melingkarkan tangan kirinya ke leher lawannya, sedangkan tangan lainnya mengepalkan tinju. Pria di depanya, di dorongnya ke tembok yang lain.

“Kamu anggap aku apa Hez! Ow, jangan-jangan ini yang kamu maksud dengan mengerti aku? Kalau ini yang kamu cari, silakan incar korbanmu yang lain!”

Dilepaskannya genggaman tangannya dari leher Hazel dan beranjak menjauh, meninggalkannya sendirian. Baru beberapa langkah, ia berhenti, berbalik.

“Kalau ada sesuatu yang aku omongkan ke Tuhan, aku cuma ingin bilang, thanks God, ini cuma masa percobaan. Since now, there’s no more Hezo and Dhite’. It’s Over, Zo!”

It’s over, Zo!

Makin lama frase itu semakin keras dan berakhir serupa lengkingan.

Kriiiinggggg

“Hah!” Sentakan suara itu diiringi hela nafas yang terburu-buru. Hazel tersentak dari tidurnya, ia terduduk setengah membungkuk. Keringatnya mengucur. Sejenak ia menggenapkan jiwanya yang belum utuh. Semenit kemudian, ia menoleh ke arah jam wekernya. Jam menunjukkan tepat pukul sembilan, padahal seharusnya sejam sebelumnya ia harus sudah hadir dalam kelas. Ia lupa men-set ulang alarmnya. Ia tak sempat mengumpat, sesuatu yang biasa ia lakukan. Kepala Hazel terlalu penuh, ia bergegas ke kamar mandi, membersihkan diri sekenanya.

Suara sepasang langkah sepatu terdengar cepat, Hazel masih ingin mengejar jamnya yang telah lewat 70 menit. Pasalnya, ini kesempatan minimalnya untuk ikut mata kuliah ini, atau ia terancam melewatkan UTS. Dibukanya pintu kelas sebelum ia sempat menstabilkan nafasnya yang terengah-engah. Apa yang didapatkannya,

“Saudara terlambat berapa menit? Silakan saudara menghabiskan jam kuliah ini dengan menunggu di luar!”

Seisi ruangan menoleh padanya, tak terkecuali, merespon nada keras dari Sang Dosen. Menjawab itu, matanya yang masih berkantung semakin sayu, dengan senyum hormat ia menutup kembali pintu ruangan itu. Langkahnya gontai mencari tempat bersandar terdekat, di kursi itu lamunannya melambung, bersamaan dengan melayangnya kesempatannya untuk lulus mata kuliah yang telah ia lewatkan empat kali. Namun, bukan itu fokusnya saat ini, lamunannya mundur ke mimpinya. Tiga minggu ini telah ia lewati dengan mimpi yang sama. Ia sandarkan kepalanya ke sandaran kursi, memposisikannya senyaman mungkin. Ia terus saja menyalahkan dirinya, sejak hari itu.

Apa sih yang membuatku sekotor itu! Ck! Gimana aku harus minta maaf ke Dhite’? liat dia aja, aku butuh tiga perempat nyawaku. Fuih!

Ia menegakkan badannya, merogoh saku bajunya, mengambil sebatang rokok, menyalakannya, dan kembali bersandar. Baru separuh batang ia hisap, ia beranjak, berniat menghindar dari pertanyaan teman-temannya yang beberapa menit lagi menyelesaikan jam kuliah mereka. Juga kemungkinan untuk menatap Dhite’ dengan pandangan bersalah. Ia berniat meninggalkan kampus, pergi ke tempat yang dapat membawanya sejenak jauh dari masalahnya yang setumpuk.

Menuju ke tempat memarkir avanza hitamnya, terlihat tak ada yang salah dengannya. Tatapannya lurus ke depan, langkahnyapun pasti, tetapi pikirannya benar-benar melayang. Terbukti!

Ddiiinnn!

“Heh! Jalan yang bener dong! Kamu pikir ini parkiran Moyangmu!”

Seorang pengendara mobil memakinya. Dengan mata sinisnya, ia hanya menoleh sebentar pada pengendara itu lalu memunggunginya sambil mengacungkan dua jari tengahnya tinggi-tinggi. Tak terlalu jauh dari tempatnya memarkir mobil, ia matikan alarm mobilnya. Baru saja ia hendak memasuki pintu sopir, sebuah suara menghentikannya.

“Hazel! Dasar! Kamu memang nggak bisa diajak ngomong baik-baik, ya! Mama nggak ngijinin kamu bawa’ mobil ke kampus kan, sebelum kamu jadi anak yang bener! Itu perjanjian kita kemarin!”

Hazel mendengus, ia tersenyum kecut. Terang saja ia tak pernah tahu. Malam itu, ketika mamanya mulai berceloteh tentang KHSnya, ia mengunci diri di dalam kamar sembari mengeraskan volume mp3 yang tertancap di telinganya. Itu juga sebab mengapa ia tak sempat mengatur ulang alarm wekernya. Wanita paruh-baya yang baru saja turun dari taksi itu mendekat seraya merebut kunci mobil yang dipegang Hazel. Tanpa perlawanan ia lepaskan kunci itu. Mobil itu meninggalkannya. Seseorang memperhatikannya dari jauh.

Ia masih terpaku di sana, memainkan wajahnya, masih dengan pandangan kosong. Lalu, ia berbalik arah kembali ke arah kampus. Langkahnya terhenti tepat di tempat itu, tempat semua tentang Hazel dan dia memulainya. Tanpa kesadaran penuh ia mengambil tempat di salah satu bangku. Beberapa orang melewatinya begitu saja. Bangku-bangku kosong di kiri-kanannya mulai terisi, hingga bangku sebelahnyapun terisi orang. Hazel tak bergeming, pikiran kosongnya masih penuh dengan berbagai masalahnya. Seorang di sebelahnya mengeluarkan sebuah novel, mulai membacanya, sesaat kemudian ia bersuara,

“Pundakku masih boleh dipinjem kok.”

Hazel, pupil matanya kembali hidup, ia mengenali suara itu. Ia menoleh, memastikan prasangkanya. Benar saja, Dhite’ duduk tepat di sebelah kanannya. Rasa kagetnya tak keluar, tertahan di tenggorokannya. Sejenak ia meluruskan tangannya ke meja di depannya seraya menelungkupkan kepala tepat di atasnya, lalu ia tegakkan kembali tubuhnya. Dengan segera tetapi perlahan, ia jatuhkan kepalanya ke pundak Wanita yang memenuhi kepalanya hampir sebulan terakhir. Satu kakinya diangkat ke atas bangku, menyamankan posisinya. Tangannya terlipat di depan dadanya. Memejamkan matanya. Rasanya bebas, diselingi semilir angin yang turut membawa aroma parfum khas Mantan pre-girlfriendnya, semakin meringankannya. Semua berangsur melenyap, semua yang memberatkannya dewasa ini. Dengan tetap terpejam, ia berkata,

“Kalau ada yang ingin kuucapkan ke Tuhanku, it must be,” “Thanks God, for giving me the time just to meet with someone like you.”

Hazel bangun, menegakkan badannya, sekali lagi ia mencoba,

“Aku tidak pernah berhak untuk menanyakan hal ini lagi ke Kamu. Aku cuma mau dengar pendapatmu. Layakkah aku dapat kesempatan ke-dua?”

“Kita coba dulu, ya?”

“Sampai kapan?”

“Waktu yang bakalan njawab.”

Kali ini Hazel benar-benar mengerti dan sepenuhnya meng-iyakan statement Dhite’. Ditutup dengan senyum lepas yang hangat untuk wanita di depannya.

Lorong ini kembali mengawalinya,

Kataku padanya.

 

 

By Melanie AliFf

29092007

 

 

Labels: , ,

0 comments

6:41 PM

You, Smile A Bit



“Me, Me! Dasar, bocah ini. Nggak ada yang laen apa! Ngelamun kok nggak kenal musim.”

Ame menggariskan senyum simpul.

“Liat aku sekarang!” “Ini aku, Rastari.” “Ngelamun nggak bikin kamu sampe’ lupa ingatan, kan?”

Sekali lagi Ame tersenyum simpul.

“Gimana nih, dialog kita? Waktu kita nggak banyak. Kamu mau berhadapan sama Pak Johar!”

“Baru ditinggal ngelamun aja udah segitu sewotnya, apalagi entar setelah kita lulus. You can’t live without me.” “Sini, udah ada ide dikit nih! Kalo’ stuck, ntar terusin ya!” Ame mengambil alih kertas di hadapan Rastari.

Seorang cowok, Diko, menghampiri meja dua teman beda gendernya dari depan, di depan Rastari.

“Ras, ntar pelaj..” Belum selesai bertanya, jawaban telah meluncur,

“BIO!” Rastari hafal, kelihatannya pertanyaan itu sudah jadi tradisi Diko.

“Wuih, sakti juga kamu!”

Rastari tersenyum cukup bijak.

“Heh! Kamu Cuma punya kata-kata itu doang ya? ‘ntar pelajaran apa?’ kelihatannya ‘Tuan’mu nggak berhasil ndidik kamu jadi beo yang baik ya!” Sahut Ame seceplosnya.

“Sakti dari Hongkong, dia aja yang nggak sadar kalo’ cuma bisa ngomong empat kata itu.” Gerutu Ame, yang disambut elusan tangan Rasta di punggungnya.

“Kamu kok ketus sih jadi cewek. Ntar nggak dapet-dapet cowok lho!” Diko balas mengomentari.

Ame berkomat-kamit, mengikuti kata-kata Diko, ekspresinya jelas mengejek. Ia memang selalu sewot setiap Diko memulai pembicaraan dengan Rastari.

Setelah Diko meninggalkan mereka ~karena menganggap tak ada yang harus diteruskan~ Rasta mengambil alih,

“Ampun deh Me! Kamu nggak bisa ya, alus dikit sama Diko? Kamu punya dendam dari reinkarnasi sebelumnya ya!”

“Rasta! Plis deh. Kamu nggak bisa naikin grade kamu? Masa’ cowok kayak gitu yang kamu suka? Yang bener aja! Di luar sana, cowok masih sejuta, kali’!” Ujar Ame yang tak lupa mengurangi volume suaranya pada kalimat yang bisa membuat feeling Rastari ketahuan.

“Syyh!” Rastari celingukan, berdoa semoga tidak ada yang memiliki pendengaran super di sekitar mereka. “Jangan gitu ah! Eh, ntar kamu bisa kena karma lho!”

Ame melengos acuh, namun angannya segera melayang.

Karma, ya. Diko sama sekali bukan tipe-ku sih, tapi gimana jadinya kalo’ Ame sama Diko jadian. Lucu kali yee..

Nyegirnya terbentuk.

Tapi gimana kalo’ beneran ya.

Mck, aku kok jadi mikirin sih! Aduh, gara-gara Rasta nih!

“Ras, udah stuck nih, terusin ya!” ame beranjak dari bangkunya.

“Mau kemana kamu?”

Jawaban Ame hanya lengkungan senyum dan lambaian tanggan pada temannya. Rasta tersenyum maklum.

Langkah Ame terhenti di pintu masuk kelas. Menerawang ke awan siang itu.

‘Ckrik’

Suara jepretan kamera pelan terdengar, bersumber dari sebuah HP di meja terdepan, urutan kedua dari pintu kelas. Cowok Si empunya HP, sebentar menelaah objek fotonya yang hanya menampakkan tampak-belakang seorang gadis. Sebentar setelahnya, pensil 2B-nya mulai menggores garis-garis tipis di atas kertas. Dengan cepat, garis-garis tipis yang berulang kali ia torehkan mulai jelas. Terbentuklah gambar yang serupa dengan foto yang tadi diambilnya dan baru saja dihapusnya. Terlihat ia sudah hafal dengan setiap lekuk objeknya, sehingga tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikannya. Di ujung bawah lukisannya ia tuliskan 040507. ditambah kalimat kecil ‘I almost see the real you. Your back tell me everythimg, Sugar”

Segera ia memasukkan karya terbarunya ke map hijau berhalamankan wadah plastik-plastik tipis. Ia menyisipkannya ke halaman plastik kosong terdekat. Terpampang karya-karya serupa di halaman sebelumnya, mungkin objek yang sama. Sekelibat terbaca kalimat-kalimat puitis di setiap pojok lukisannya.

‘If there’s a thing sweeter than honey, it must be you’

‘They thought you scary, but I know you’re beauty’

‘When the time’s coming, your smile will be mine’

‘I catch your tears’

dan belasan kata-kata manis lainnya yang dibackgroundni dengan ekspresi yang beragam. Sesaat ia terhenti pada gambarnya yang melukiskan seorang gadis yang tengah memejamkan matanya, ditemani air mata yang meleleh di pipinya. Ia mengingat hari itu.

“Dik!” Sebuah sapaan merusak segalanya. Detak jantung Diko tiba-tiba berdetak jauh lebih kencang. Seorang teman mengagetkannya. Ia membereskan mapnya dan menempatkannya kembali ke dalam tasnya.

“Ntar jadi nyewa studio yang mana?”

“Waduh, ntar aku ada les tuh! Kalo’ mau ngeband ntar Minggu aja!” Jawab Diko sambil menstabilkan irama jantungnya, berusaha terlihat tenang.

 

Kurang 1 meter lagi Ame memasuki gerbang LBBnya, sore itu. Di teras LBB tergambar keadaan yang cukup ramai. Siswa yang masuk-siang baru saja selesai, disusul siswa jam selanjutnya.

Ame melihat seseorang yang dikenalnya, membelakanginya,

“Ras-tari” ia mengurangi volume sapaannya drastis, setelah ia melihat dengan jelas siapa yang sedang berbicara dengan teman sebangkunya itu. Namun Rastari terlanjur menengok, teman bicaranyalah yang meng-kode Rastari

“Hai Me!” Rastari Menyapa

“Oh, Hei!” ame tak lagi bisa fokus dalam memberikan respon dari sapaan temannya. Matanya masih sinis memandang teman bicara Rastari.

“Aku masuk dulu ya, Ras!” Sampai detik terakhirnyapun Ame sama sekali tidak fokus dengan lawan bicaranya, Rastari. Malah ia berpindah lawan bicara tepat setelah matanya terhenti pada tangan kanan orang di sebelah Rastari.

“Bisa, ya! Orang macam kamu pake’ gelang itu. Ternyata kamu cowok juga toh!”

 

Kursi nomor tiga dari depan sebelah tembok, ia duduki begitu memasuki ruangan les nya. Menerawang, Ame menyandarkan punggungnya ke dinding terdekat.

Kok aku jadi ribet sendiri sih. Knapa sikapku ke Diko malah jadi nggak kekontrol gini! Ngapain juga aku komentarin gelang itemnya! Penting nggak sih! Tapi pantes, agak beda, rupanya gara-gara gelang itu toh! Not bad lah!

Ame tersenyum sendiri memandang tangan kanannya yang memakai gelang serupa.

Mck!

“Fokus me! Fokus!” Kata Ame sembari menepukkan kedua tangannya di depan wajah beberapa kali.

Apa-apaan sih!

Hiih.. amit-amit deh!

Sadar dong Me. Kamu masih memperhitungkan Rasta, kan. Kalo’ kamu tiba-tiba suka dia sekarang, nggak fair donk! Inget Me, Rasta itu bener-bener suka sama Diko.

“Ssshh! Huuh..” Ame mendengus, mencoba mengeluarkan isi otaknya yang aneh.

 

“Me, Me. Kamu OK kan? Gimana? Nggak ‘papa kok, kalo’ kamu nggak jawab sekarang. Aku bisa nunggu.” Sebuah suara menyadarkannya.

Pandangan Ame jatuh ke halaman-halaman dari map hijau yang ada di pangkuannya. Ia baru saja membolak-balik lembaran-lembaran yang penuh dengan gambar dirinya, sepuluh menit lalu. Ia sadar, tempo itu Diko baru saja membuka segala rahasia hatinya.

Ame berusaha mencari sosok yang sangat ingin ia temukan.

Itu dia Rasta!

Sejenak Ame memandang penuh bimbang pada gadis itu. Rasta mengangguk dengan raut bahagia, tampak tulus, walaupun ada sudut kecil yang menjelaskan keberatannya.

Ame merasa lebih baik, hanya belum cukup baik.

“Aku nggak bisa jawab sekarang.” Selain senyum kecil penuh hormat, kata itu jadi kata terakhirnya siang itu. Ame berdiri menyandang tasnya dan meninggalkan kerumunan kecil teman-temannya. Diko mengikutinya hingga pintu kelas, terhenti, tegak memandang Ame yang memunggunginya, berusaha mengerti. Ame berjalan.

Aku tahu Ras, ini nggak akan pernah adil buat kamu. Sorry. Tapi aku nggak sejahat itu. Nggak akan aku ijinin kamu nyaksiin peristiwa yang jelas ngehancurin ‘atimu. Makasih anggukanmu, Ras! Tunggu aku, Ko!

Sembari hatinya bergejolak, sebuah sms terkirim. Ia masukkan HP-nya ke dalam tasnya. Dengan tetap memunggungi mereka yang menantikan jawaban yang lebih darinya.

‘Drrrt..’

Diko memeriksa HP-nya yang baru saja bergetar. Sebentar setelahnya ia memandang Ame yang semakin menjauh, ia tersenyum.

 

 

 

A. Maulani --03052007

Labels: , , ,

0 comments

6:40 PM

LINK to another ME

06 December 2008


1 comments

5:35 AM

SIMFONI ROLLER COASTER

04 December 2008


Kupikir aku tidak pernah mencintainya, tapi aku tak pernah bisa menghindar dari ketetapan Tuhan, nyatanya aku mencintainya, sangat.

Dia pernah bicara seperti ini padaku,

Jadi selama ini, kamu melihat aku dari sisi dominanku aja?

Dan ketika aku menjawab,

Maaf, aku tak pernah melihatmu sedangkal itu,

Dia kembali menjawab,

Bukan bermaksud menuduhmu, tapi hampir semua orang memandangku lewat apa yang ditawarkan oleh pantulan fisikku.

Aku marah saat itu, sangat marah. Dia tak pernah mengerti panjangnya filosofiku atasnya, berbagai alur yang harus kulalui sendiri untuk membangunkanku, menyadarkan diriku, bahwa dia hanyalah dia, bukan sesuatu dari masa lalu yang kembali ke sini dari suatu detik di masa lalu.

Tapi kini, kuterduduk, menerawang sendiri. Benarkah sedalam itukah perjuanganku untuknya, benarkah aku tak pernah tersilaukan kemilau rupawan yang akan selalu ada padanya.

Keindahan adalah nikmat, sedangkan ia adalah keindahan yang lain. di lidahku, ia melebihi sebuah nikmat. Di hatiku, ia tak lebih dari segelas air segar yang kuharap bisa melegakan keringnya yang telah kubawa seumur hidupku. Paradoks.

Benar kata Rama,

Di dunia ini, tak ada orang yang tak ingin punya kekasih.

Tetapi mungkin akulah yang terkutuk, hanya bisa mencintai bukan dicintai.

Aku kembali terbakar amarahku sendiri, aku tak mau terkutuk. Aku tak mau terkutuk. Aku tak pantas terkutuk. Lalu sejenak aku berhenti dan menoleh ke suatu sudut dibelakang bahuku. Ketika kuhadapkan kembali ke depan, aku berpikir. Aku tersenyum sinis, senyum sinis yang terasa pahit. Jangan-jangan amarahku menunjukkan kejujuranku, aku memang tak pernah pantas dicintai.

Aku mencintainya. Hanya sejauh itu aku berani mengakuinya.

Aku tahu dia tak akan mencintaiku, tetapi aku bertahan. siapa tahu Dia akan terketuk untuk menghadiahiku, sebagai kado ketetapan hatiku.

Kupikir aku tidak pernah mencintainya, tapi aku tak pernah bisa menghindar dari ketetapan Tuhan, nyatanya aku mencintainya, sangat.

Dongengku tentangnya telah separuh jalan, tersusun dengan begitu sempurna dalam alamku sendiri. Hanya aku yang mengerti. Dia tanpa cela. Benar-benar begitu indah. Karena ia memang tak bercela. Alam-pun tak akan berani mencelanya. Tak pernah ada debu yang berani menodainya.

Berulang kali kuganti namanya, berulang kali kuhapus namanya, hanya sebagai harapan bahwa aku tak akan lagi memandangnya. Hingga sampai pada hari itu, ketika aku memutuskan untuk setia padanya.

Hari itu aku tegak menapak dan bersumpah untuk setia. Hari ini aku kembali meragukannya. Bukan keraguanku yang pertama.

Setulus itukah aku?

Dia pernah menawariku tawaran menggiurkan,

Bagaimana kalau kita berteman dengan benar?

Kata ‘teman’ bukan lagi sesuatu yang aku inginkan. Saat ini aku terlalu serakah untuk hal semacam itu. Aku menginginkan yang lain, aku menginginkanmu. Melebihi segala yang kau miliki.

Kupikir aku tidak pernah mencintainya, tapi aku tak pernah bisa menghindar dari ketetapan Tuhan, nyatanya aku mencintainya, sangat.

Sangat,

Terlalu,

Benarkah bukan sesuatu yang lain?

Roller coaster.

 

 

Ketika saatnya datang, aku akan memberitakan pada dunia bahwa aku tak lagi mencintaimu,

Tetapi bukan saat ini.

 

A. Maulani – 05112008, 21:22

Labels: , ,

0 comments

6:25 AM

Tak Ada Sesalku Untukmu


..S’lamanya, kan ku jaga dirimu, seperti kapas putih dihatiku, takkan ku buat noda...

Alunan lagu itu berarti baginya, lebih dari sebelumnya. Lagu inilah yang melatarbelakangi malam itu, ketika Mithe, sahabat baiknya menangis di hadapannya. Ia tak pernah menyangka, Mithe akan berada sejauh itu.

Sampai hari ini pun Jimmy masih belum percaya jika Mithe mengaku terlanjur berbadan dua padanya. Memang ia sempat merasa berat ketika Mithe mengaku telah jadian dengan laki-laki itu, tapi ia benar-benar tidak pernah menyangka akan berakhir pada titik ini. Rokok, barang yang tak pernah ia sentuh selama ini agaknya menjadi saksi kegundahan hatinya. Sore itu ia menatap segerombolan anak kecil yang memainkan bola di tanah lapang. ia bersandar di thundernya, asap mengepul dari mulutnya. Di satu sisi Jimmy menyalahkan dirinya sendiri, kenapa dia tidak pernah memperingatkan Mithe sebelumnya? Mengapa dia lebih takut dianggap over protective daripada menyelamatkan seoarang sahabat yang paling dia cintai?

HPnya berdering. Tanpa melihat nama si pemanggil ia mengangkatnya. Cukup lama ia diam, ia tahu, diseberang sana ada sahabatnya. Ia masih menunggu sahabatnya membuka pembicaraan.

Ssk..

Sebuah suara terdengar. Jimmy menganggap isakan itu membuka pembicaraan mereka.

“Kamu di mana?”

“Di kos.” Mithe menahan sebisa mungkin agar terdengar tegar.

“Jangan ke mana-mana!”

Tiit!

“Jim. Jimmy?” kata itu tak mungkin terdengar oleh Jimmy. Jimmy memutus pembicaraan, dan segera menstarter sepeda motornya, meninggalkan gerombolan anak-anak itu. Tak lama, ia telah berhenti di depan sebuah pintu. Tanpa mengetuk, Mithe keluar, menyambut suara mesin yang telah dihafalnya. Matanya jelas terlihat sembab. Keduanya duduk.

“Jim.”  ssk.. “Aku harus gimana?”  ssk, ssk..”A..Aku,”  Kata-katanya terputus putus, Mithe mulai menangis.

“Siapa saja yang sudah tahu masalah ini?”

“Kamu, cuma ke kamu.” Jawab Mithe yang berusaha menstabilkan emosinya.

“Aku dan cowokmu aja, kan! Yang tahu masalah ini.”

Mithe menggeleng, “Kamu, cuma ke kamu, Jim.”

“Jadi cowokmu sendiri juga belum tahu?” Nadanya sedikit meninggi

“Aku tahu dia, Jim! Dia, dia, nggak akan mau...” Mithe tak kuat menyelesaikan kalimatnya, tangisannya kembali tak tertahan.

Jimmy memeluk Mithe, mendekapnya hangat.

“Jangan ditahan!”

Mithe menurutinya, Mithe menangis keras dalam pelukan Jimmy, dari luar hanya terdengar serupa gumaman pelan. Cukup lama hingga tangisan Mithe mereda. Mithe melepaskan pelukan. Baju Jimmy basah, terlalu basah untuk ukuran keringat. Ini kali kedua Mithe menangis di pelukannya. Setiap kali Mithe hanyut dalam perasaan menyesalnya, dekapan Jimmy-lah satu-satunya penenang baginya. Usai menutup pembicaraan, mereka kembali ke tempat mereka masing-masing. Mithe yang nampak lebih segar dari sebelumnya, masuk ke dalam indekosnya. Jimmy, memacu sepeda motornya, kembali ke rumah.

Sejak kembali dari kos Mithe, sampai saat ini, Jimmy hanya memainkan bolpoinnya serta membiarkan buku-buku pelajarannya terbuka begitu saja. Padahal, besok adalah hari pertamanya menghadapi UAS. Walaupun ini semester awal bagi seorang mahasiswa, tapi Jimmy telah bertekad untuk segera meraih gelar SH-nya. Ia bahkan telah menetapkan target IP yang tinggi. Ia harus belajar ekstra keras. Ia ingin membuktikan pada keluarganya bahwa ia akan sukses menjadi pengacara dan membuktikan keputusannya menolak tawaran bergabung di perusahaan keluarga adalah benar. Ia sempat diremehkan, setelah 2 tahun sebelumnya ia sempat gagal menyelesaikan pendidikannya di fakultas psikologi.

Ia berdiri, menuju kamar mandi, ia berwudhu, dan melepaskan bebannya pada Sang Pencipta. Setelah sembahyang, ia terlihat lebih segar. Kembali Jimmy duduk di hadapan buku-bukunya, tetapi kali ini ia siap melahap seluruhnya.

Setelah tidur cukup malam itu, Jimmy nampak sangat siap menghadapi kumpulan soal yang akan menentukan nasibnya di lembar KHS nantinya. Tidak ada yang ia ingat selain apa yang telah ia pelajari semalam dan tekadnya untuk lulus cepat. Langkahnya mantap menuju ruang ujian. Naskah telah dibagikan, ujian dimulai.

Bbbrrrrttt.. bbrrrttt..

Sebuah handphone bergetar di atas meja. Jimmy benar-benar melupakan semua hal yang tidak berkaitan dengan ujiannya hari ini. HPnya tertinggal.

Bbbrrt.. bbrrtt..

Handphone itu kembali bergetar.

“Jim.. Kamu dimana?” Sebuah suara terdengar sangat cemas, bergetar, sang pemilik suara menahan tangisnya.

“Jim, angkat dong.”

Please Jim, tolong angkat!”

Si penelpon menyerah, telpon terakhirnya hanya dijawab oleh layanan operator.

Ujian selesai.

Jimmy puas dengan hasil kerjanya, ia keluar dari uang ujian dengan wajah sumringah. Langkahnya untuk keluar dari koridor kampus, terhenti oleh sapaan temannya dari belakang.

“Jim, ada telepon buat kamu nih! HP-mu ketinggalan, kan?”

“Dari siapa?” Jimmy menjawab.

“Dari temenku yang se-kos sama Mithe.”

Deg!

Jantung Jimmy seakan berdetak hanya sekali. Ia tahu, sesuatu yang tidak baik sedang terjadi.

“Halo..” Jimmy membuka percakapan.

“Halo, ini Jimmy ya? Jim, kamu cepetan ke rumah sakit. Mithe, dia coba-coba untuk bunuh diri!”

Pandangan Jimmy mendadak kosong. Seakan tak ada waktu untuk syok, Jimmy segera sadar dan memacu sepeda motornya sekencang mungkin, secepatnya menemui Mithe. Dalam otaknya semuanya bercampur menjadi satu. Bagaimana keadaan Mithe, apa yang ada di pikiran Mithe, mengapa ia bisa lupa pada Mithe, semuanya bercampur.

Ia berlari menuju instalasi gawat darurat, sesampainya di rumah sakit tersebut. Disana ia di sambut orang yang menelponnya tadi.

“Mithe baru aja sadar. Selain namamu yang disebut, dia cuma nangis.”

Jimmy menapak lambat, membuka kirab yang menghalanginya menatap Mithe secara langsung. Jimmy melirik pergelangan tangan Mithe, dan itu cukup menjawab.

“Mithe, kenapa harus kayak gini! Maafin aku, Mit!” Jimmy memeluk Mithe dengan sangat hati-hati.

“Bu-kan sa-lah-mu, Jim! A-ku a-ja yang nggak ku-at.” Jawaban mithe terpotong-potong.

Dengan menggenggam tangan Mithe, Jimmy terdiam agak lama sebelum akhirnya pecahlah kalimat itu,

“Mit, will you marry  me?”

Mithe tersentak mendengar kata itu, “Kamu ngo-mong apa sih, Jim?” kalimat Mithe terdengar lebih padu, walaupun masih cukup lirih.

“Iya Mit, kamu mau jadi istriku?” Jimmy melepaskan cincin yang ada di jarinya dan memasangkannya ke jari Mithe, sebagai simbol keseriusan hatinya.

“Apa-an sih, Jim!” Jawabannya yang seakan tak setuju, tak membuat jari manisnya menolak cincin Jimmy.

Jimmy mencium kening Mithe, lama. Hingga Mithe terlelap dalam senyum.

Walau cincin itu tak pernah pas di jari manis Mithe, tetapi jauh di dalam hati Jimmy, ia tahu inilah jalan yang paling pas untuk mereka. Jimmy tak ingin menyesal lagi di hari yang lain. Dia tak akan menyesal untuk menunda planning lulus-cepatnya, dan menerima tawaran orang tuanya untuk bekerja di perusahaan keluarga, demi seorang wanita di depannya, seorang calon ibu.

 

By A. Maulani

Dec 15th, 2007 — 1:16

Labels: , , ,

0 comments

6:22 AM

Free Web Counters

Owner.

Image Hosted by ImageShack.us

Meet me,

Welcome here,

Walaupun menulis adalah salah satu passionku, tapi menurutku, aku sama sekali tidak produktif. Semoga dengan kupublikasikan tulisanku, produktivitas dan kualitas tulisanku akan jauh meningkat.. Apapun pikiran, pendapat, atau celaan kalian, AKU MOHON, share-in sama aku ya.. Makasih...

music.

Lagu ini pas banget buat jadi "wake up" song, biar hari jadi lebih semangat

Kalo mau download, dibawah lirik ada link nya



Click to get mp3

Buddies.

PSYDOJOEsite

Human vs. Cockroach

Tips for your PC

Me at Friendster

Icha Gede

Uthe'

Khey

Punya Mob-Mob

Vault.

August 2008 September 2008 December 2008 February 2009 January 2011

thanks.

Layout by BAKEDPOTATOE, with help from sm3no for the image and fonts, Print Dashed and Violation.