Sebentar kutanyakan padanya. Zen berjalan menuju seorang gadis berambut hitam, lurus sepinggang.
“Chai, nanti ke tempat biasa.” Zen harus extra hati-hati dalam menjaga kerahasiaan hubungannya, pasalnya pacar rahasianya, Chya, tak lain dan tak bukan adalah teman sekelasnya.
“Ngapain tiba-tiba ke sini. Bukannya Cuma Jumat malan kita nongkrong di mari!”, selonong gadis yang biasa disapa Chai ini, ketika baru saja duduk di sebuah taman baca sekaligus toko buku kesayangan mereka.
Hampir bisa dipastikan, tiap Jumat malam mereka duduk di meja nomor tiga, masing-masing memegang satu buku atau komik, membacanya, sambil diselingi obrolan tanpa tatap wajah. Bisa dimaklumi jika mereka cukup bosan melihat wajah satu sama lain, terang saja, ini sudah memasuki bulan ke-6 mereka sekelas, dan bulan ke-2 setelah mereka putuskan untuk bersama.
“Aku juga ngerasa ganjil duduk di sini. Sore-sore, masih pake’ seragam lagi.”
Chya diam, tanpa tanggapan, tanpa cuapan, sejenak hening, tak lama Zen kembali menyambungnya.
“Chai, pernah mikir nggak, kenapa kita …”. Tanpa melanjutkan kalimatnyapun, Chya sudah tahu apa yang Zen maksud. Namun Chya belum juga bersuara, mereka masih dalam komik masing-masing. Hingga di ujung sore, pembicaraan belum juga berlanjut, dan akhirnya mereka memutuskan pulang.
Orion, Orion, Orion. Cuma kata itu yang Chya “dendangkan” seusainya dengan Zen sore itu, sambil memainkan bolpen yang ditemani buku PR dihadapannya. Sekedar informasi, Orion yang dimaksud bukanlah nama rasi bintang. Seperti halnya Zen, Chya juga berstatus berpacar ganda.
“Manis, bersih, jabrik. Perfect! Zen? Berangasan, item, kumel. Wah! Bener-bener nggak bisa dibandingin.”, ia menertawakan lamunannya sendiri.
“Yang bisa kuingat, waktu itu dia jomblo, aku jomblo, dia nembak, aku terima. Nggak tau sih! Cuma, aku betah aja deket dia.”
Dia yang buat aku berani nembak Geas, dia yang ngilangin semua raguku. Pelukan terakhirnya saat itu membuat semua raguku luruh, membuat hatiku tenang, membuat diriku nyaman.
Zen mengingat kembali, ia mundur ke sekitar dua bulan sebelum hari ini. Saat itu makan siang, siang yang paling membosankan bagi Zen. Karena itu, dia memutuskan tidak beranjak ke kantin. Duduk dipojokan kelas dengan wajah tertunduk menyentuh meja, siku di meja. Hari itu membuat Zen 100% tidak nyaman. Tekanan dari teman-temannyalah yang mungkin membuat Zen makin terpuruk. Keberanian Zen untuk menyatakan perasaannya pada Geas yang empat bulan ini telah diincarnya, ditantang.
Saat itu kelas cukup sepi, tak banyak anak, lagipula masing-masing sibuk dengan diri mereka sendiri. Zen tak tahu benar sejak kapan Chya berada tepat disampingnya yang kemudian memeluk tubuhnya, seraya menempelkan wajahnya ke punggung Zen.
Tak perlu ditanya, jelas Zen kaget, kaget bukan kepalang malah. Bukan pacar, bukan saudara. Zen ingat benar kalau dia sempat berontak sebagai respon atas kagetnya. Namun itu tak membuat pelukan Chya melonggar, bahkan semakin ia eratkan ditambah pijatan penenang pada bahu Zen sambil berkata,
“tenang, nafas aja yang teratur.”
Cukup lama sampai akhirnya Chya melepaskan pelukannya. Sesaat sebelum ia beranjak dari bangku Zen, yang Zen dengar,
“Aku nggak suka liat kamu diem.” Selang seminggu setelah hari itu, entah roh mana yang tiba-tiba membuat Zen meminta Chya menjadi miliknya. Sangat minim persiapan. Terlihat dari pilihan kata yang digunakannya.
“Mau jadi pacarku?” ucapnya saat itu, setelah memastikan hanya ada empat mata di tempat itu.
“Backstreet?”, Chya malah balik memberi Zen pertanyaan, namun lebih terdengar sebagi tanggapan.
“Backstreet.”
Kata itu menandai awal kisah mereka. tetep rame di sekolah, diam saat berdua. Disusul dengan acara penembakan Zen yang kedua pada Geas, tepat enam minggu setelah hari itu.
Zen menghentikan lamunannya, mematikan lampu dan segera pergi ke alam mimpi.
Kamis siang, setelah jam makan siang. Saat ini ada sedikit keributan antara Zen dan beberapa temannya.
“Kamu waras Zen? Empat bulan ngincer, trus cumin kamu pacarain dua minggu? Gila!”
Tanggapan, sama sekali tak keluar dari mulut Zen. Chya yang otomatis mendengarpun tak memperlihatkan respon.
Beralih ke Chya, sebenarnya Chya mendahului Zen dua minggu untuk mengikat komitmen dengan Orion, yang tidak satu sekolah dengannya. Masing-masing mereka ~Zen dan Chya~ tahu bahwa yang lainnya mendua, namun keadaan tidak pernah berubah. Tidak putus, tidak juga membuka kedok backstreetnya.
Tiba saat berkemas untuk kembali ke rumah. Seperti biasa Orion telah menunggu Chya, menjemputnya, mengembalikannya ke rumah orangtuanya. Namun beberapa menit sebelum Chya menempatkan dirinya di belakang Orion, terlihat mereka mendiskusikan hal kecil dan diakhiri dengan senyum misterius Orion. Mereka meninggalkan sekolah.
Jumat malam kembali hadir. Seperti selama ini, meja nomor tiga, suasana bisu, komik, dan sepasang remaja dalam sebuah toko buku. Setelah melewati 1 ½ jam bisu, Chya mengeluarkan sedikit kata,
“Geas, lewat. Kita?”
“Kita?”
“Nggak backstreet lagi?”
“Kamu pengen?”
”Nggak.”
“Putus?”
“Nggak.”
“Nggak?”
Percakapan super irit itu ditutup dengan suara Zen yang bernada tanya namun diakhiri dengan anggukan sok mengerti. Keadaanpun kembali sunyi. Hingga jam menunjukkan pukul sembilan, mereka belum juga mengangkat badan untuk meninggalkan taman baca dan toko buku itu. Namun, akhirnya deheman sang pemilik tempat, memaksa mereka menutup komik, Chya mendahului. Setelah mengembalikan buku, mereka berjalan beriringan.
Saat berada di pintu keluar, tepat pada saat separuh badan Chya tak lagi berada di dalam ruangan, tanpa menoleh ia berkata,
“Aku selesai dengan Orion.”
Ditutup dengan senyum, Chya menyempurnakan dirinya untuk keluar dari toko itu. Zen menyusul dibelakangya. Aku tak bisa menggambarkan waktunya secara pasti, yang jelas saat ini Zen telah melingkarkan tangannya ke pinggang Chya dari belakang, seraya berkata,
“Backstreet?”
“Backstreet…”, jawab yang lain seraya mengukuhkan pelukan mereka dengan menggenggam tangan Zen.
“Forever.” Lanjut Chya.
“Forever.” Ulang Zen, bersamaan dengan padamnya lampu bangunan yang ada di belakang mereka. Tinggal bintang-bintang yang bertebaran dengan cemerlang menemani mereka.
By Melanie AliFf
30112006