The Hidden Love , Just For Me

21 August 2008



Kujadikan dia sebagai alasanku, lagi, untuk kedua kalinya…


Regret nothings, fear less,then just do it! Kugumamkan kata itu berulang kali, kutanamkan jauh dalam pusat hatiku. Harus kupastikan bahwa kata itu benar-benar tertancap, sebelum semua tentangnya terlalu jauh,
Bout that boy..
It’s not about fear, it’s about love, bout heart. Rupanya sisi lain diriku menolak pendapatku sebelumnya. Detik ini kebimbangan berdesir dalam dadaku.
Saat ini tatapanku melekat kuat pada wajahnya. Tiga bulan bukan lagi waktu yang singkat untuk memendam beban seberat ini. Ingin sekali kucari tahu apa yang mesti kuketahui, selama ini selalu saja samar. Sebenarnya sejauh mana dirinya padaku, sedekat apa seharusnya kita berdua.
Aku pencinta manusia, aku ingin selalu menebak apa yang mereka pikirkan. Kedinamisan mereka membuatku ingin tahu. Biasanya semua itu terasa lancar, untuk tahu semua itu. Tetapi kenapa keraguan-mutlak terjadi saat kucobah telaahnya.
Karena itu, karena semua itu, ingin sekali kuhadapkan kita dalam empat mata, dan akan kutanyakan berentet, beribu, dan berjubel pertanyaan tentang kita, tentang yang seharusnya terjadi. Bukan yang kuinginkan terjadi atau imajinasiku yang selalu memaksaku mewujudkannya.
Nampaknya sisi otakku yang lain membuatku kembali tenggelam dalam ragu. Haruskah seorang gadis baik-baik melakukan itu?
NO WAY! OF COURSE NOT!
Lalu akan seperti apa tindakanku. Hari ini kuhentikan pertengkaran pribadiku sampai disini, titik. Tak ada niatan untuk menuntaskannya sekarang. Karena saat ini aku harus kembali ke realita. Kulepaskan tatapanku darinya, sebelum ia merasa diawasi.
-
Kutatap dirinya,
Bukan cantik, bahkan sebenarnya tidak terlalu. Tetapi ada alasan lain kenapa dia menempati tempat spesial di jantungku, teristimewa di paru-paruku dan memiliki seluruh jiwaku.
Aku tahu selama ini dia mengawasiku.
MUNGKIN,
Mungkin dia mengawasiku. Matanya terlalu dalam untuk diselami, senyumnya terlalu rumit untuk dimengerti. Begitu tulus, namun maknanya belum tertangkap olehku. Selalu saja memberiku misteri tersendiri.
Entah. Aku merasa nyaman seperti ini, menatapnya. Kalau dia yang akan jadi milikku, ia akan jadi yang pertama, karenanya lubuk kecilku kurang-lebih berharap takkan ada kegagalan.
Belum juga kutemukan sesuatu itu, yang dapat memantapkan hatiku. Sampai saat ini, setelah kutatap dia selama setengah semester. Apa perlu kuyakinkan diriku bahwa dia akan menjawab seperti yang kubayangkan? Itu memang tidak terlalu penting, namun itu mungkin yang membuat sedikit keraguan yang berkecambah.ADVICE?I guess Iy!
-
Bukan lagi dia yang kutatap, melainkan langit-langit kamarku. Kuputuskan untuk menemukan ketuntasannya malam ini, tentang langkahku kedepan menghadapinya. Harus tuntas. Tak kuhiraukan lagi jam yang terus berputar, waktu yang terus berlalu, malam yang makin larut.
Aku tekankan pada diriku, kuingatkan pada jiwaku, bahwa aku hanya seorang gadis. Dan sudah seharusnyalah, gadis hanya menunggu. Apapun zamannya, hawa akan tetap menunggu.
Well, I’M QUIT.
Kucukupkan kebimbanganku, keraguanku selama ini. Aku keluar dari rasa ini. Belum terlalu jauh, belum terlalu jauh untukku menghilangkannya. Biarkan dia jadi cintaku yang terpendam, cinta yang pernah ada, tanpa ada yang tahu.
-
Dua kawan mendukungku, jawaban lain yang tersisa hanya ‘terserah’ dan ‘nggak tahu’, yang terakhir malah menginterogasiku balik jati diri gadisku Ehm, incaranku. Namun dapat dipastikan dia pulang dengan tangan hampa, karena aku tidak akan mengungkapnya sebelum usai.
Kurenungi kembali pendapat-pendapat temanku, dan akhirnya kudapatkan juga kesimpulan,
OK,I’m game!
Apapun jawabannya bukan menjadi masalah. Yang penting aku telah mencoba menjadikannya milikku.
-
Aku bertatap mata dengannya, lebih dekat dan lekat dari biasanya.
-
Tatapan ini, tidak, jangan keluarkan sekarang! Itu bisa merusak rencana agungku. Menjadikanmu milikku.
-
Kuberanikan diri untuk kembali mencoba membaca apa yang dipikirkannya saat ini. Namun, tiba-tiba saja terlintas keputusan akhirku semalam, I’m quit. Kutundukkan diriku, kuputuskan tetap memegang kata itu.
-
Kenapa kau lepas senyummu, jangan sekarang. Kau membuatku ragu, lagi. Mengapa jawabannya kembali jadi penting? Telah kuputuskan bahwa aku akan masuk dalam permainan ini. Kutarik dan kulepas nafasku sedikit lebih lambat dari biasanya, melonggarkan rongga dadaku yang terlalu sesak. Setelah berusaha keras, akhirnya terlontar juga kata itu, kupinta ia menduduki tempat terkhusus di hatiku, jantungku, dan seluruh jiwaku.
-
Jantungku berdetak terlalu keras, aku terlalu kaget untuk kata itu, yang terlontar dari mulutnya.
Aku..
Aku,
Ehm! Aku harus fokus pada keputusan akhirku. Sudah kuputuskan!
Sudah kuputuskan,
Kuputuskan apa,
REGRET NOTHINGS,FEAR LESS, JUST DO IT!
Hanya itu yang teringat diotakku, terutama dua kata terdepan.
REGRET NOTHINGS, terus saja berulang. Jangan sesali apapun¬ atau mungkin lebih terdengar jangan sampai menyesal! Ditambah seruan lain yang bersaing,
It’s not ‘bout fear, it’s ‘bout love, about YOUR HEART!
Demam-panggungpun seketika muncul di tempat tak seharusnya, didepannya. Aku hanya terpaku tanpa jawaban. Bukannya berkoorporasi, seruan-seruan di otakku semakin kencang. Akhirnya keluar juga jawabanku, bukan kata-kata, hanya anggukan. Kusadari otakku mengangkat bendera putih pada hatiku, kukembangkan senyumku, kutatapkan mataku setulus mungkin, sedalam yang kubisa pada sosok didepanku.
-
Tatapan itu, aku tahu! Senyum itu, aku mengerti!
Aku memecahkan sebagian misteri atasnya. Senyumnya, pandangannya, segala yang ia berikan padaku selama ini adalah perasaan yang sangat kuinginkan, jawaban yang selama ini membimbangkanku.
-
Tabir tersirap, semua terbuka. Dia padaku. Sejauh inilah seharusnya kita berdua.

By Melanie AliFf
02112006


Labels: , ,

0 comments

6:19 AM

Backstreet, Better?


Sebentar kuingat, kenapa aku putuskan untuk backstreet dengannya? Aku lupa! Apa memang aku tidak pernah punya alasan hingga berkomitmen dengannya?
Gumaman itu berluapan dalam hati seorang pria, Zen namanya. Remaja 18 tahun itu mulai gusar dengan kehidupan cintanya. Bisa dibayangkan, ia berstatus in relationship sekaligus dengan dua wanita. Chya, adalah yang pertama dan yang rahasia, sedang Geas adalah yang diketahui seluruh temannya. Ia punya alasan yang sangat jelas untuk “jadian” dengan Geas. Tinggi, semampai, putih, dan hal-hal fisik positif lainnya, semua itu ada pada Geas. Tapi Chya, dia Cuma pacar yang tak pernah diproklamirkan pada khalayak, namun tak pernah terbesit olehnya untuk membuatnya selesai.
Sebentar kutanyakan padanya. Zen berjalan menuju seorang gadis berambut hitam, lurus sepinggang.
“Chai, nanti ke tempat biasa.” Zen harus extra hati-hati dalam menjaga kerahasiaan hubungannya, pasalnya pacar rahasianya, Chya, tak lain dan tak bukan adalah teman sekelasnya.
“Ngapain tiba-tiba ke sini. Bukannya Cuma Jumat malan kita nongkrong di mari!”, selonong gadis yang biasa disapa Chai ini, ketika baru saja duduk di sebuah taman baca sekaligus toko buku kesayangan mereka.
Hampir bisa dipastikan, tiap Jumat malam mereka duduk di meja nomor tiga, masing-masing memegang satu buku atau komik, membacanya, sambil diselingi obrolan tanpa tatap wajah. Bisa dimaklumi jika mereka cukup bosan melihat wajah satu sama lain, terang saja, ini sudah memasuki bulan ke-6 mereka sekelas, dan bulan ke-2 setelah mereka putuskan untuk bersama.
“Aku juga ngerasa ganjil duduk di sini. Sore-sore, masih pake’ seragam lagi.”
Chya diam, tanpa tanggapan, tanpa cuapan, sejenak hening, tak lama Zen kembali menyambungnya.
“Chai, pernah mikir nggak, kenapa kita …”. Tanpa melanjutkan kalimatnyapun, Chya sudah tahu apa yang Zen maksud. Namun Chya belum juga bersuara, mereka masih dalam komik masing-masing. Hingga di ujung sore, pembicaraan belum juga berlanjut, dan akhirnya mereka memutuskan pulang.
Orion, Orion, Orion. Cuma kata itu yang Chya “dendangkan” seusainya dengan Zen sore itu, sambil memainkan bolpen yang ditemani buku PR dihadapannya. Sekedar informasi, Orion yang dimaksud bukanlah nama rasi bintang. Seperti halnya Zen, Chya juga berstatus berpacar ganda.
“Manis, bersih, jabrik. Perfect! Zen? Berangasan, item, kumel. Wah! Bener-bener nggak bisa dibandingin.”, ia menertawakan lamunannya sendiri.
“Yang bisa kuingat, waktu itu dia jomblo, aku jomblo, dia nembak, aku terima. Nggak tau sih! Cuma, aku betah aja deket dia.”
Dia yang buat aku berani nembak Geas, dia yang ngilangin semua raguku. Pelukan terakhirnya saat itu membuat semua raguku luruh, membuat hatiku tenang, membuat diriku nyaman.
Zen mengingat kembali, ia mundur ke sekitar dua bulan sebelum hari ini. Saat itu makan siang, siang yang paling membosankan bagi Zen. Karena itu, dia memutuskan tidak beranjak ke kantin. Duduk dipojokan kelas dengan wajah tertunduk menyentuh meja, siku di meja. Hari itu membuat Zen 100% tidak nyaman. Tekanan dari teman-temannyalah yang mungkin membuat Zen makin terpuruk. Keberanian Zen untuk menyatakan perasaannya pada Geas yang empat bulan ini telah diincarnya, ditantang.
Saat itu kelas cukup sepi, tak banyak anak, lagipula masing-masing sibuk dengan diri mereka sendiri. Zen tak tahu benar sejak kapan Chya berada tepat disampingnya yang kemudian memeluk tubuhnya, seraya menempelkan wajahnya ke punggung Zen.
Tak perlu ditanya, jelas Zen kaget, kaget bukan kepalang malah. Bukan pacar, bukan saudara. Zen ingat benar kalau dia sempat berontak sebagai respon atas kagetnya. Namun itu tak membuat pelukan Chya melonggar, bahkan semakin ia eratkan ditambah pijatan penenang pada bahu Zen sambil berkata,
“tenang, nafas aja yang teratur.”
Cukup lama sampai akhirnya Chya melepaskan pelukannya. Sesaat sebelum ia beranjak dari bangku Zen, yang Zen dengar,
“Aku nggak suka liat kamu diem.” Selang seminggu setelah hari itu, entah roh mana yang tiba-tiba membuat Zen meminta Chya menjadi miliknya. Sangat minim persiapan. Terlihat dari pilihan kata yang digunakannya.
“Mau jadi pacarku?” ucapnya saat itu, setelah memastikan hanya ada empat mata di tempat itu.
“Backstreet?”, Chya malah balik memberi Zen pertanyaan, namun lebih terdengar sebagi tanggapan.
“Backstreet.”
Kata itu menandai awal kisah mereka. tetep rame di sekolah, diam saat berdua. Disusul dengan acara penembakan Zen yang kedua pada Geas, tepat enam minggu setelah hari itu.
Zen menghentikan lamunannya, mematikan lampu dan segera pergi ke alam mimpi.
Kamis siang, setelah jam makan siang. Saat ini ada sedikit keributan antara Zen dan beberapa temannya.
“Kamu waras Zen? Empat bulan ngincer, trus cumin kamu pacarain dua minggu? Gila!”
Tanggapan, sama sekali tak keluar dari mulut Zen. Chya yang otomatis mendengarpun tak memperlihatkan respon.
Beralih ke Chya, sebenarnya Chya mendahului Zen dua minggu untuk mengikat komitmen dengan Orion, yang tidak satu sekolah dengannya. Masing-masing mereka ~Zen dan Chya~ tahu bahwa yang lainnya mendua, namun keadaan tidak pernah berubah. Tidak putus, tidak juga membuka kedok backstreetnya.
Tiba saat berkemas untuk kembali ke rumah. Seperti biasa Orion telah menunggu Chya, menjemputnya, mengembalikannya ke rumah orangtuanya. Namun beberapa menit sebelum Chya menempatkan dirinya di belakang Orion, terlihat mereka mendiskusikan hal kecil dan diakhiri dengan senyum misterius Orion. Mereka meninggalkan sekolah.
Jumat malam kembali hadir. Seperti selama ini, meja nomor tiga, suasana bisu, komik, dan sepasang remaja dalam sebuah toko buku. Setelah melewati 1 ½ jam bisu, Chya mengeluarkan sedikit kata,
“Geas, lewat. Kita?”
“Kita?”
“Nggak backstreet lagi?”
“Kamu pengen?”
”Nggak.”
“Putus?”
“Nggak.”
“Nggak?”
Percakapan super irit itu ditutup dengan suara Zen yang bernada tanya namun diakhiri dengan anggukan sok mengerti. Keadaanpun kembali sunyi. Hingga jam menunjukkan pukul sembilan, mereka belum juga mengangkat badan untuk meninggalkan taman baca dan toko buku itu. Namun, akhirnya deheman sang pemilik tempat, memaksa mereka menutup komik, Chya mendahului. Setelah mengembalikan buku, mereka berjalan beriringan.
Saat berada di pintu keluar, tepat pada saat separuh badan Chya tak lagi berada di dalam ruangan, tanpa menoleh ia berkata,
“Aku selesai dengan Orion.”
Ditutup dengan senyum, Chya menyempurnakan dirinya untuk keluar dari toko itu. Zen menyusul dibelakangya. Aku tak bisa menggambarkan waktunya secara pasti, yang jelas saat ini Zen telah melingkarkan tangannya ke pinggang Chya dari belakang, seraya berkata,
“Backstreet?”
“Backstreet…”, jawab yang lain seraya mengukuhkan pelukan mereka dengan menggenggam tangan Zen.
“Forever.” Lanjut Chya.
“Forever.” Ulang Zen, bersamaan dengan padamnya lampu bangunan yang ada di belakang mereka. Tinggal bintang-bintang yang bertebaran dengan cemerlang menemani mereka.


By Melanie AliFf
30112006

Labels: , ,

0 comments

6:12 AM

12 August 2008


KampungBlog.com - Kumpulan Blog-Blog Indonesia

0 comments

10:35 PM

It Passed Away


Cerita tentang mereka berdua yang hidup dalam satu cinta, namun tak pernah sekalipun menghargainya.
Dua sejoli itu saling suka, saling kagum, dan sama-sama menyadari keberadaan yang lainnya. Tapi ego mereka lebih mengambil peranan, jauh daripada hati mereka yang terbakar.
Tatapan mereka kembali beradu untuk ke sekian kali, namun untuk kesekian kali pula mereka mengecewakanku. Sang dara mengalihkannya. Sedang jaka, ia mengambil sikap. Menggeser tempat duduknya sedikit lebih dekat, mendekat ke gadis lainnya, membaurkan dirinya dalam keakraban yang lazim. Dara memutuskan hanya tersenyum kecut, menundukkan muka dan kembali membenamkan diri dalam kebimbangan yang tidak seharusnya. Mereka benar-benar membuatku semakin geram. Tidak adakah satu keberanianpun yang akan muncul dari mereka, untuk mewujudkan sebuah hubungan indah?
Hari lain, masa ini, dara dan jaka ini kembali berpandangan, berbalasan senyuman manis. Aku melihat ketulusan yang murni dalam empat mata itu. Jangan hentikan! Teruskan! Rangkailah awal cerita indah kalian.
Rupanya aku belum bisa berpuas hati untuk saat ini. Kembali mereka injak kesucian cinta mereka hanya karena suara pertama dari orang ketiga yang tiba-tiba membuat perhatian si jaka teralihkan. Dara mengalihkan pandangannya yang tak lagi berbalas, tenggelam dalam cemburu yang dibakar sang ego. Aku tak tahu harus berkoar apalagi tentang mereka. Aku benar-benar tak mengerti akan arah yang akan mereka tuju. Akankah mereka bertemu di satu titik, jika ego selalu menyetir mereka?
Kejengkelanku hari ini mengingatkanku tentang suatu hari, saat dara manis itu termenung, melayangkan lamunannya. Aku sungguh sangat tahu, saat itu, jaka-kalem itu pasti sangat ingin mendekatinya, menggenggam tangannya, menatap kedua matanya, lalu membantunya melepas beban di otak dara pujaannya. Namun jaka tak segera melaksanakan inginnya, yang aku rasa pasti akan jadi salah satu langkah terbesar dalam hubungan mereka. lalu apa yang ia lakukan saat itu? Ia tertunduk, memikirkan ulang keinginan hatinya, lama sekali. Makin lama ia berpikir, makin luruh niatnya, dan akhirnya ia lepaskan begitu saja kesempatan itu. Aku mengerti jika Si dara sama kecewanya denganku. Aku merasakannya, dara itu juga memimpikannya, kurasa ia juga akan berharap akan peduli jaka-nya. Untuk kesekian kali, lagi, aku kecewa atas mereka, kecewa atas perlakuan mereka pada cinta juga kelemahan mereka pada Sang ego.
Kulanjutkan ceritaku, saat ini, setelah pandangan mereka terputus oleh sapaan seorang gadis. Si gadis berhasil mengambil tatapan jaka manis itu. Mereka bertatapan. Cukup lama. Sedetik kemudian, aku dibuat gadis itu terlalu shock dan kaget oleh perkataanya saat ini. Berani sekali dia! Mengucapkan kata itu, kata yang sepanjang cerita kunantikan akan keluar dari mulut Sang jaka, untuk rembulannya, dara itu.
Kulihat jaka tak lebih terkejut dariku atas keberanian Si gadis. Laki-laki itu membuka sedikit bibirnya untuk membentuk senyum hormat, menghargai seorang gadis yang mencuri kata itu dari hak para lelaki. Sesaat kemudian, ia melirik ke arah dara-nya. Pandanganku kualihkan secepat kilat pada dara. Kali ini aku sangat berharap, betul-betul menginginkan Si dara untuk melakukan hal yang benar. Tolonglah! Cegah! Hentikan ini! Ini kesempatan terakhirmu! Berikan tanda padanya!
Bersamaan dengan tertunduknya wajah hawa itu, aku berteriak sangat keras dalam hati. Sirna harapanku padanya. Tapi masih ada sekali lagi kesempatan. Kualihkan pandangan ke Sang adam. Ia adalah kunci dari kisah ini. Keputusannya saat ini akan jadi titik tolak hubungan mereka. Ini kesempatan terakhir. Ayolah, kumohon! Aku berharap penuh padamu! Perhatikan benar-benar ekspresi dara-mu, ia takkan pernah rela kau diambil oleh gadis itu. Aku sadar, detik ini, tak ada yang bisa aku lakukan. Aku diam, menunggu dengan sangat cemas.
Tubuhku lemas seketika, saat arjuna itu meng-iyakan komitmen yang baru ditawarkan padanya. Selesai! Semua telah berakhir.
Inilah balasan untuk mereka yang tidak menghargai cinta.
Cinta akan menghilang, tanpa sempat dapat disesali.
Agungkanlah cinta sebisamu, sekuat hatimu. Jangan pernah biarkan sedikitpun ego memaksamu melepaskan cinta.



By Melanie AliFf
10112006

Labels: , ,

0 comments

6:41 AM

Finally Deja Vu




“Hey, pernah denger déjà vu ga?” Santi memulai pembicaraan pagi ini.
“O,ya.. aku juga pernah ngalamin, ketika mimpi kita jadi nyata kan!” Dona meneruskan. Kelihatannya topik ini bakal jadi menarik buat mereka, tapi nggak buat aku. Itu terlalu ga’ logis. Aku hanya duduk di salah satu sudut dari sekelompok gadis kelas 12 SMA, mendengarkan mereka mengoceh tentang déjà vu.
Aku sudah terlalu capek untuk melakoni kehidupan nyataku, dan aku tidak akan menyisakannya hanya untuk memikirkan kata-kata aneh itu.
“Tau ga’, percaya ga’ percaya, aku pernah mimpiin saat pertama kali aku jadian.” Santi mulai pamer. Gerumbulan gadis lainnya menimpalinya dengan decak tak percaya ditambah desah kagum.
Aku jadi ingat salah satu mimpiku, saat Faro, teman sekelasku ~yang sepertinya kusukai~ memintaku jadi pacarnya. Tapi AH, apa itu! Sudahlah jangan mulai percaya dengan hal seperti itu. Apa kamu nggak capek berurusan sama yang namanya cinta! Bayangkan, dari hampir sepuluh orang yang kusukai enam tahun belakangan ini, nggak ada satupun yang punya feel sama kayak aku.
Bel sekolah, tanda masuk, membubarkan genk gossip yang secara otodidak terbentuk pagi itu. Kelasku mulai penuh, keadaanpun menjadi tenang ketika pembimbing belajar kami hadir dan membuka pertemuan.
Pandanganku melayang ke bangku ke-2 dari meja guru. Seorang cowok yang duduk di sebelah kiri. Sepintas, ingatanku kembali melayang ke mimpi anehku. Terbayang ketika dia menduduki bangku di depanku. Dia berbalik dan memandangku lama, kubalas pandangannya, dia tak juga menghentikan tatapannya, hal itu tidak biasa. Kemudian tiba-tiba saja kata-kata ich liebe dich terucap dari mulutnya, dia tersenyum dan semuanya mendadak kabur, akhirnya kudapati diriku terbangun dari tidurku. Aku masih ingat dengan sangat jelas setiap detail dari mimpi yang mungkin paling kuharapkan.
Tak sadar, aku telah memandangnya lama, sejak aku mulai mengingat mimpiku. Diapun telah membalas tatapanku dengan penuh tanya. Lantas saja kualihkan pandanganku. Aku kembali bergumam. Berhentilah memikirkan itu, focus! Ingat, kamu kelas tiga. Toh, sebesar apa sih kemungkinan terjadinya mimpi itu, hampir nol persen! Kutenangkan kembali diriku, kubuang nafasku perlahan, kembali kufokuskan diriku ke tugasku hingga jam berakhir.
Pergantian pelajaran, sama artinya dengan moving class. Kembali kubuka senyumku dan mulai berceloteh usil, mengalihkan pikiranku, memfokuskannya ke hal lain. Pelajaran kali ini, dia, si Faro, duduk di depanku. Punggungnya terlihat begitu anggun, membuatku nyaman. Aku tidak bisa menjelaskannya secara logis, perasaan apa ini! Cinta memang tidak mengenal kata logis, pelajaran berlanjut. Setelah sekian waktu, kuselesaikan hari itu.
Kulihatnya menatapku saat itu, di kelas itu, hari itu, di penghujung minggu. Kali ini ia duduk di seberangku. Dia di sebelah kiri, bangku ke-2 dari depan, sedang aku sebelah kanan dalam urutan bangku yang sama namun satu deret lebih ke kiri darinya. Sejenak kuselami matanya, ingin kubaca apa yang ada dalam pikirannya. Kuharap ada aku di salah satunya. Sebelum aku puas menjelajahi matanya, ia memalingkan kedua bola matanya ke meja. Terlihat tangannya menggenggam type-x dan menorehkan sesuatu yang singkat. Seperti sebelumnya, kualihkan pandangan ke arah depan, dimana papan yang penuh menanti untuk disalin.
Kembali pelajaran berganti seiring bergantinya kelas. Aku beranjak, berdiri mengemas seluruh alat-alatku. Tanpa bermaksud sengaja, kulirik meja yang telah ditempatinya. Tak pernah terbayang, namakulah yang ia tuliskan. Aku yakin, walau disekitarnya tak sedikit coretan stipo lainnya. Senyumku tipis menggaris, walau aku tak tahu pasti harus merasa apa, yang jelas nafasku tiba-tiba terasa sedikit sesak.
Dalam setapak ke kelas lainnya, dia, Faro berjalan beriringan dengan seorang gadis, juga tak beda kelas dengannya, denganku. selalu seperti itu, berjalan berdampingan dengan lawan jenisnya, tak selalu dengan orang yang sama, membuatku kembali berpikir aku bukan satu-satunya, memberikanku pilihan untuk mundur teratur.
Kulangkahkan kakiku memasuki kelas berikutnya, kali ini, sekali lagi dia duduk di depanku. Sepuluh menit telah lewat, sang guru yang tak kunjung datang telah digantikan oleh guru piket yang seperti biasa membawakan tugas sebagai ganti ketidakhadiran Sang guru. Dan setelah selesai menunaikan tugasnya, Sang guru piketpun meninggalkan kami, akan selalu seperti itu. Kubuka buku tugasku, kutelaah soal yang ada di depanku. Tiba-tiba saja perasaanku menjadi tidak enak, kuacuhkan itu. Kulanjutkan menarikan penaku ke atas lembar buku yang masih putih. Walau kuacuhkan, perasaan janggal itu tak henti kembali. Apa ini? Perasaan macam apa ini! Aneh, tapi aku merasa nyaman dan seakan tak asing dengan ini. Sementara lain, aku merasa ada sepasang mata mengawasiku, kuberanikan untuk mendongak. Entah mengapa aku langsung tahu asal pemilik mata itu.
Di depanku, Faro telah memutar badannya, dia telah memandangku lama, kembali kuterhenyak, otakku memaksa untuk mengingat waktu ini, seakan aku pernah mengalaminya. Kubalas pandangannya, dia tak juga menghentikan tatapannya, HAL ITU TIDAK BIASA! Mulutnya terbuka, dan yang terdengar olehku, I love you, would you be mine?
Tersentak kuteringat saat itu.
Aku membisu, terhenyak, menelan semua kelogisanku. Dia mengulanginya, “Aku suka kamu, mau jadi pacarku?”
Kutersadar, berpikir, jawaban apa yang akan jadi berkesan untuk sesuatu yang baru dalam enam tahun terakhirku.
Akhirnya kuminta tenggang waktu, kuulur masa, seperti yang beberapa gadis lakukan di situasi sama. Dia tersenyum mengiyakan, memperbolehkanku memikirkan hal yang hanya punya satu jawaban, tak lain dan tak bukan, jawaban YA!
Dia membalik tubuhnya, menghadapkannya kembali ke mejanya. Kusadari begitu gaduh dan ramai keadaan dalam kelasku, menyoraki-ku, meneriaki kita.
Senyumku mengembang sedikit lebih lebar, kuhembuskan udara terlega dan nyamanku yang pertama setelah dua hari ini. Kuistirahatkan punggungku di sandaran kursiku, seraya melipat tanganku di depan dada. Senyumku belum juga memudar. Dalam hati aku berkata,
finally, déjà vu!


By Melanie AliFf
19092006

Labels: , ,

0 comments

6:33 AM

Free Web Counters

Owner.

Image Hosted by ImageShack.us

Meet me,

Welcome here,

Walaupun menulis adalah salah satu passionku, tapi menurutku, aku sama sekali tidak produktif. Semoga dengan kupublikasikan tulisanku, produktivitas dan kualitas tulisanku akan jauh meningkat.. Apapun pikiran, pendapat, atau celaan kalian, AKU MOHON, share-in sama aku ya.. Makasih...

music.

Lagu ini pas banget buat jadi "wake up" song, biar hari jadi lebih semangat

Kalo mau download, dibawah lirik ada link nya



Click to get mp3

Buddies.

PSYDOJOEsite

Human vs. Cockroach

Tips for your PC

Me at Friendster

Icha Gede

Uthe'

Khey

Punya Mob-Mob

Vault.

August 2008 September 2008 December 2008 February 2009 January 2011

thanks.

Layout by BAKEDPOTATOE, with help from sm3no for the image and fonts, Print Dashed and Violation.